22.16 -
No comments
“KEPEMIMPINAN IDEAL BAGI INDONESIA MENURUT KI HAJAR DEWANTARA: ING NGARSO SUNG TULADHA, ING MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI”
MAKALAH
KEPEMIMPINAN
“KEPEMIMPINAN
IDEAL BAGI INDONESIA MENURUT KI HAJAR DEWANTARA: ING NGARSO SUNG TULADHA, ING MADYO
MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI”
Oleh
Anggota …..
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang
memiliki corak kebhinekaan, baik etnis, suku, budaya, maupun keragaman dalam
politik dan ekonomi. Karena hal itu, kerap menimbulakan pola pikir yang
mementingkan kelompok atau primordialisme.
Kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat Indonesia
secara umum, masih sulit mengadakan penyesuaian terhadap hadirnya nilai-nilai
baru. Oleh karena itu, diperlukan sosok kepemimpinan yang dapat
mengintegrasikan keragaman tersebut dan dapat memadukan atau menggali inspirasi
dari nilai-nilai luhur Nusantara dan nilai-nilai kamajuan universal, yang
disebut dengan Kepemimpinan Ideal.
1.2
Identifikasi
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan kepemimpinan dan pemimpin?
2. Apa
yang dimaksud dengan ideal?
3. Bagaimana
kepemimpinan ideal bagi Indonesia menurut Ki Hajar Dewantara sesuai dengan
semboyan “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing
Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”?
BAB II
PEMBAHASAN
Kepemimpinan
adalah seni dan ilmu untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama. Berbagai teori kepemimpinan telah dikemukakan oleh berbagai ahli, baik
para ilmuan dari negara-negara asing, sampai pada ilmuan-ilmuan lokal kita.
Teori kepemimpinan telah dipelajari dalam jangkauan yang tidak singkat
waktunya. Namun, sampai sekarang masih selalu diperdebatkan kepemimpinan model
apa yang cocok untuk diterapkan dalam berbagai situasi terutama di negara
indonesia ini.
Studi
tentang kepemimpinan sudah sangat tua dan melahirkan begitu banyak teori, mulai
dari the great men theory
yang menganggap bahwa pemimpin itu dilahirkan, kemudian dilanjutkan dengan
teori sifat yang mencoba menidentifikasi kepemimpinan berdasarkan sifat-sifat
yang melekat pada pemimpin yang berhasil, kemudian lahir teori prilaku yang
menanalisis kepemimpinan yang berhasil itu ditentukan oleh prilaku-prilaku
tertentu, dan teori kontingensi yang menganalisis bahwa kepemimpinan itu harus
didasarkan pada situasi dan kondisi dimana kepemimpinan itu dijalankan. Inilah
garis besar teori kepemimpinan yang berkembang selama ini. Namun pada tataran
teori ini tidak satupun teori yang bisa menjelaskan konsep teori apa yang cocok
untuk situasi kondisi yang ada di indonesia sebagaimana yang dijelaskan oleh
teori situasional atau kontingensi. Berikut pengertian kepemimpinan menurut
beberapa ahli:
1. Ordway
Tead (dalam Kartini Kartono, 1994:49)
Kepemimpinan
adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agarmereka mau bekerja sama untuk
mencapai tujuan yangdiinginkan.
2. George
R. Terry (dalam Kartini Kartono, 1994:49)
Kepemimpinan
adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agarmereka suka berusaha mencapai
tujuan-tujuan kelompok.
3. K.
Hemphill (dalam M. Thoha, 1996:227)
Kepemimpinan
adalah suatu inisiatif untuk bertidak yangmenghasilkan suatu pola yang
konsisten dalam rangka mencarijalan pemecahan dari suatu persoalan bersama.
4. Prof.
Kimball Young (dalam Kartini Kartono,1994:50)
Kepemimpinan
adalah bentuk dominasi didasari kemauan pribadiyang sanggup mendorong atau
mengajak orang lain unuk berbuatsesuatu, berdasarkan akseptasi atau penerimaan
olehkelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagisituasi khusus.
Berbeda
dengan kepemimpinan, pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan
dan kelebihan khususnya kecakapan dan kclebihan disatu bidang, sehingga dia
mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan (Kartini Kartono, 1994).Pemimpin dalam
pengertian lain, ialah seorang yang dengan jalan memprakarsai tingkah laku
sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya
orang lain atau melalui prestise, kekuasaan dan posisi. Dalam pengertian yang
terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan
kualitas-kualitas persuasifnya dan akseptansi/ penerimaan secara sukarela oleh
para pengikutnya.
Kata
ideal, dari kata dasarnya,
memberi implikasi bahwa apapun yang ideal harus mengabdi kepada suatu IDE, dan
bagi saya ide itu adalah menjadikan Indonesia ini (jauh) lebih makmur, lebih
terhormat dan lebih merdeka sebagai NKRI. Jadi ide ini yang mengurung dan
mengarahkan kita dalam memikirkan karakter2 seperti apa yang harus dimiliki
seorang pemimpin untuk membawa kita mencapai kondisi ideal itu. Semoga jelas
sekarang apa maksud saya dengan 'ideal'.
Tut Wuri Handayani, sebagai nilai-nilai bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh
Ki Hajar Dewantara. Filosofi “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun
karsa, Tut wuri handayani” nyatanya begitu melekat di benak hingga saat
ini. Perkembangan ilmu pengetahuan pada akhirnya menemukan bahwa terdapat
kesesuaian antara filosofi tersebut dengan kepemimpinan yang ideal untuk bangsa
Indonesia.
Ing ngarsa sung tuladha. Filosofi ini memiliki arti bahwa
seseorang yang berada di garis depan atau seorang pemimpin, harus bisa memberi
contoh kepada para anggotanya. Seorang leader akan dilihat oleh followernya
sebagai panutan. Follower tidak hanya memperhatikan perilaku dari seorang
leader secara pribadi, namun juga meliputi sejauh mana nilai-nilai budaya
organisasi telah tertanam dalam diri leadernya, bagaimana cara leadernya dalam
mengatasi masalah, sejauh mana leader berkomitmen terhadap organisasi, sampai
kerelaan seorang leader untuk mengutamakan kepentingan bersama daripada
kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, sepatutnya seorang leader memiliki
karakteristik-karakteristik yang dapat menjadi teladan untuk para followernya.
Leader yang memiliki charisma atau seorang pemimpin yang kharismatik akan lebih
mudah menjalankan peran ini. Hal ini disebabkan oleh charisma mereka yang dapat
menginspirasi para followernya.
Ing madya mangun karsa. Filosofi ini berarti bahwa seorang
leader harus mampu menempatkan diri di tengah-tengah followernya sebagai
pemberi semangat, motivasi, dan stimulus agar follower dapat mencapai kinerja
yang lebih baik. Melalui filosofi ini, jelas bahwa seorang leader harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan followernya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
tersebut, akan memotivasi follower untuk memberikan yang terbaik bagi
organisasi. Teori-teori motivasi memiliki peranan penting bagi seorang leader
untuk mengaplikasikan peranan sesuai filosofi kedua ini.
Tut wuri handayani. Filosofi yang terakhir ini memiliki
makna bahwa seorang leader tidak hanya harus memberikan dorongan, namun juga
memberikan arahan untuk kemajuan organisasi. Arahan di sini berarti leader
harus mampu mengerahkan usaha-usaha followernya agar sejalan dengan visi, misi,
dan strategi organisasi yang telah ditetapkan. Sebagai dasarnya, leader
nilai-nilai organisasi harus tertanam kuat dalam diri masing-masing anggota.
Ketiga filosofi di atas saling berkaitan dan tidak dapat
ditinggalkan salah satunya. Sebagai contoh, usaha seorang leader untuk
menanamkan nilai-nilai organisasi kepada followernya. Dalam hal ini, seorang
leader tidak bisa begitu saja mendorong dan mengarahkan perilaku followernya
agar sesuai dengan nilai-nilai organisasi (tut wuri handayani). Namun,
leader tersebut juga harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana nilai-nilai
organisasi telah tertanam dalam dirinya (ing ngarsa sung tuladha).
Sembari memberi contoh, leader juga harus mengkomunikasikan nilai-nilai
tersebut ke tengah-tengah followernya, dan memotivasi mereka untuk bertindak
sejalan dengan nilai-nilai itu (ing madya mangun karsa).
Bila dilihat dari budaya bangsa menurut dimensi-dimensi
Hofstede, akan ditemukan kesesuaian antara budaya kita, filosofi dari Ki Hajar
Dewantara, dan gaya kepemimpinan yang diterapkan di Indonesia. Salah satu
dimensi Hofstede, yaitu Power Distance Index (PDI) menunjukkan nilai
yang tinggi pada budaya di Indonesia. Jarak kekuasaan yang tinggi
mengindikasikan bahwa anggota-anggota dalam organisasi menerima adanya
kekuasaan atau wewenang yang tidak didistribusikan secara merata. Nilai yang
tinggi dalam dimensi ini berarti bahwa arahan dari leader merupakan sesuatu
yang diinginkan dari para follower. Leader dituntut untuk bisa memberikan
arahan dan pengawasan bagi para followernya. Hal ini kita jumpai pada salah
satu filosofi di atas, yaitu tut wuri handayani.
Penerapan lain dari filosofi-filosofi tersebut dapat dilihat
pada AXA Indonesia, suatu perusahaan yang bergerak di bidang asuransi.
Perusahaan ini sukses meraih penghargaan sebagai “Perusahaan Ternyaman Pilihan
Karyawan Nomor Satu di Indonesia” dalam ajang Employer of Choice di tahun 2010.
AXA Indonesia unggul berkat komunikasi dua arah yang intensif dan terbuka.
Komunikasi merupakan elemen penting bagi leader dalam memotivasi, memberikan
semangat, dan ide untuk para follower. Hal ini sesuai dengan konsep filosofi “ing
madya mangunkarsa”.
Beberapa uraian di atas menjelaskan kepemimpinan yang ideal
bagi bangsa Indonesia, dilihat dari segi nilai-nilai asli budaya bangsa
Indonesia. Belajar dari sejarah bangsa dapat membawa kita pada kesimpulan
menarik mengenai berbagai hal. Salah satunya adalah dalam hal kepemimpinan.
Sangat menarik mengetahui bahwa kepemimpinan yang ideal bagi bangsa ini bahkan
telah ditemukan dan disusun sejak lama oleh Ki Hajar Dewantara melalui 3
filosofi singkatnya. Ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mangun karsa. Tut
wuri handayani.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan
adalah seni dan ilmu untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama.Dalam mencapai tujuan bersama seorang pemimpin harus menjalankan amanah
sesuai yang diharapkan oleh para anggotanya. Begitupun para anggotanya harus
dapat berkoordinasi dan mendukung segala jenis program yang ditetapkan oleh
pemimpinnya dalam mencapai suatu tujuan untuk kepentingan bersama.
3.2
Harapan
Pemimpin
Bersih dan Bebas. Pemimpin 2014
mendatang, selayaknya tidak pernah punya hubungan dengan pemimpin terdahulu
apalagi pernah memangku jabatan pada masanya. Artinya, agar benih-benih dosa
masa lalu berupa korupsi tidak sempat tertanam apa lagi sampai mendarah daging
sehingga tertular kepada pemimpin yang baru terpilih nanti.
Pemimpin
Muda. Teringatlah kita pada sebuah slogan
"Yang Muda Yang Memimpin". Ini merupakan refleksi kebosanan terhadap
program-program tokoh-tokoh tua yang selalu saja mengumbar janji palsu dan
lihai mengelabui rakyat. Oleh sebab itu, diharapkan pemimpin muda ini mampu
berkarya dan berkreatifitas membawa negeri ini ke arah yang bersih dari
persoalan korupsi dan kolusi serta nepotisme yang pada gilirannya bermuara pada
keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Pemimpin
Religius. Bahwa faktor ini adalah faktor yang
tentunya tidak bisa diabaikan, sebab filter pemimpin yang berkualitas merupakan
taat terhadap agamanya dan takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sudah barang
tentu, yang dikatakan religius dini bukanlah sekedar simbol. Misalnya, calon
pemimpin dari kalangan muslim, memakai pakaian gamis/bersurban, berjenggot,
menyambambangi pesantren ketika dekat masa pemungutan suara atau jika calonnya
dari seorang kristiani, sering ke gereja tiap minggu, dan sebagainya calon dari
agamas lain. Hemat saya, bukan itu inti dari religius. Namun, religius tersebut
terbit dari keikhlasan pribadi yang melaksanakannya, bukan pamer dengan
simbol-simbol. Masyarakat telah mampu dan pintar untuk menilai itu nantinya dan
dari sudut inilah diberikan harapan dalam bingkai bineka tunggal ika untuk
melaksanakan kebebasan beragama dan bertoleransi.
Seorang
pemimpin harus ahli sehingga dapat
dipercaya, juga perlu jujur dan cerdas. Karena jika seorang pemimpin tidak
cerdas maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah rakyatnya dan ia tidak dapat
memajukan apa yang dipimpinnya. Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang
menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah
orang yang mengerti tempatnya).
Punya
Rasa Malu. Dalam praktek kita dapat temukan
karakter pemimpin yang tidak punya malu. Misalnya, seorang mantan pemimpin yang
tersandung masalah hukum sebut saja korupsi, padahal vonis hukuman yang
dijatuhkan kepadanya belum selesai dijalani. Tetapi, dalam suksesi pemilu yang
sedang berlangsung, dia turut meramaikan bursa calon pemimpin. Nah, secara
logis, seyogyanya yang bersangkutan malu. Bagaimana mungkin pula rakyat memilih
mantan pemimpin yang korup dan saat ini berstatus nara pidana. Meskipun,konteks
hak asasi manusia dan konstitusi memberi jaminan dan perlindungan hak yang sama
untuk memilih dan dipilih. Namun, apalah jadinya republik ini, jika koruptor
menjadi pemimpin (presiden). Seharusnya, seorang pemimpin memiliki sikap yang
berwibawa, agar rakyat yang dipimpinnya dapat hidup tenang dalam menjalankan
aktifitasnya.
Pemerataan
Kesempatan. Poin ini tidaklah bermaksud untuk
mendeskreditkan suku atau daerah lain. Faktanya, bahwa sejak zaman orde lama
sampai orde reformasi saat ini, tercatat dalam sejarah bangsa yang pernah dan
selalu memimpin republik ini selalu putra/putri berasal dari sekitar pulau
dimana ibu kota republik ini berada. Sudah barang tentu, kami berharap pada 2014
yang akan datang akan muncul tokoh baru dari daerah lain sesuai dengan kriteria
tersebut diatas.
0 komentar:
Posting Komentar